Mengubah Peribahasa
“Alah.. sok suci aja
loo? Ayo ikut!” Ajak teman yang sudah tahu betul tentang latar belakang dia.
Sambil memegang kartu remi, hatinya bertanya-tanya.
“Apa aku akan seperti ini terus?”
Yakin,
perubahan adalah hal yang pasti. Baik buruknya itu tergantung dari dirinya
sendiri. Seperti cerita hebat temanku yang satu ini. Rupanya kehidupan yang
kurang beruntung membuatnya ingin berubah. Benar-benar berubah. Hidupnya yang
terlahir sebagai anak penjudi, membuatnya harus menerima. Tak bisa protes. Kalau mau protes juga sama siapa? Tuhan!
Minta jadi anak pejabat atau konglomerat aja. Atau presiden.
Mungkin di desa namanya sudah terdaftar sebagai anggota
sampah masyarakat. Hari-hari, rumahnya dijadikan tempat judi. Tiap malam dia
selalu menjadi pelayan dalam kelancaran perjudian. Buat kopi, beli rokok dan
penyedia makanan. Sehingga dari situ dia mendapatkan uang. Akhirnya dia berpikir.
“Apa aku akan seperti ini terus? Makan, bayar uang
sekolah, seragam sekolah dan sepatu. Semuanya dari uang judi. Apakah diterima
salatku?”
Rasa ingin bergaul dengan anak baik-baik rasanya malu, apa
lagi anak masjid? Dan akhirnya bergaul dengan anak-anak yang kurang baik juga.
Dan kadang sesekali juga ikut main judi. “Masak yang punya rumah gak ikut. Kalau gak ikut, bisa dicengin habis-habisan. Ah.. sok suci loo.” Jadinya
bapak anak sama saja. Main judi. Tapi tak satu kelompok. Buat kelompok sendiri
dengan yang muda-muda.
Rasa ingin berubah itu rupanya berontak. Menggebu-gebu.
Setelah mendengar kakak kelasnya bersosialisasi di depan kumpulan anak-anak.
Yang selalu diingat, “semangat adik-adik. Masak kamu gak mau dapat beasiswa plus uang saku? Lulus langsung diangkat
karyawan lagi.” Bicaranya meyakinkan. Apa
lagi bentuk tubuhnya. Agak berisi. Kelihatan makmur. Beda sekali dengan yang
dulu. Kurus.
Setelah selesai acara sosialisasi, dia mengejar kakak itu.
“Kak, memang bisa juga kalau bukan anak yang tak
peringkat di kelas ikut?”
“Kenapa tidak? Kan yang peringkat belum tentu lulus tes
nantinya?”
Walaupun sempat berpikir, “yang peringkat saja belum
tentu lulus, apa lagi yang tak peringkat!”
Tapi tak ada salahnya bila mencoba. Kalau ini lulus, mungkin
inilah saatnya mengubah peribahasa kondang.
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
Hingga akhirnya lulus sekolah. Pendaftaran untuk
mendapatkan beasiswa dibuka. Siang malam berubah total rutinitas kehidupannya. Tak
ada judi. Dan pergi ke rumah nenek untuk sementara. Mempelajari semua wejangan dari
kakak kelas yang sudah dapat beasiswa. Hampir satu bulan non stop. Dan tak lupa doa, selalu dipanjatkan untuk-Nya.
Tiba saatnya tes pertama.
“Ibu, doakan sukses ya.” Sambil mencium tangan ibu. Dia
bergetar mencium tangan ibu. Dan terdengar bisikan “semoga sukses nak.” Dan
berjalan memandangi bapaknya yang masih tertidur di ruang tamu. Karena semalam
tak tidur.
Keluar rumah, miris hatinya memandangi rumah tua yang
sudah reyot. Melihat ibu di depan pintu yang memandangi dia. Terlihat jelas
sekali kerutan di wajahnya, mungkin karena banyak pikiran.
Tes pertama yang menguras otak membuatnya benar-benar
capek. Tapi semuanya itu tergantikan dengan pengumuman bahwa dia LULUS. Dan
melanjutkan tes berikutnya.
Hampir tiga bulan lamanya tes demi tes dilalui. Walau
sempat ditikam rasa galau. Kapan pengumumannya akhirnya?
Sore hari. Setelah salat magrib, dering HP berbunyi:
Suara bapak-bapak. Mengabarkan bahwa besok Senin depan kamu harus ada di
Jakarta. Untuk tanda tangan kontrak. Kamu dinyatakan LULUS.
Seisi rumah benar-benar haru. “Bu aku lulus.” Ibu
mendengar itu menjadi tak bisa berkata lain, hanya kebesaran-Nya ibu yang bisa terucap.
Setelah lulus, sekarang temanku menjadi seorang teknisi pesawat. Semoga
dari kisah ini kita dapat mengambil pelajarannya. Rupanya, kemauan telah mengubahnya.(oenerbitmadza.com/ZiyadatulMuhtar)
- See more at: http://www.penerbitmadza.com/2015/01/mengubah-peribahasa_25.html#sthash.27MrcWl8.MaB5nAzU.dpuf
“Alah.. sok suci aja
loo? Ayo ikut!” Ajak teman yang sudah tahu betul tentang latar belakang dia.
Sambil memegang kartu remi, hatinya bertanya-tanya.
“Apa aku akan seperti ini terus?”
Yakin,
perubahan adalah hal yang pasti. Baik buruknya itu tergantung dari dirinya
sendiri. Seperti cerita hebat temanku yang satu ini. Rupanya kehidupan yang
kurang beruntung membuatnya ingin berubah. Benar-benar berubah. Hidupnya yang
terlahir sebagai anak penjudi, membuatnya harus menerima. Tak bisa protes. Kalau mau protes juga sama siapa? Tuhan!
Minta jadi anak pejabat atau konglomerat aja. Atau presiden.
Mungkin di desa namanya sudah terdaftar sebagai anggota
sampah masyarakat. Hari-hari, rumahnya dijadikan tempat judi. Tiap malam dia
selalu menjadi pelayan dalam kelancaran perjudian. Buat kopi, beli rokok dan
penyedia makanan. Sehingga dari situ dia mendapatkan uang. Akhirnya dia berpikir.
“Apa aku akan seperti ini terus? Makan, bayar uang
sekolah, seragam sekolah dan sepatu. Semuanya dari uang judi. Apakah diterima
salatku?”
Rasa ingin bergaul dengan anak baik-baik rasanya malu, apa
lagi anak masjid? Dan akhirnya bergaul dengan anak-anak yang kurang baik juga.
Dan kadang sesekali juga ikut main judi. “Masak yang punya rumah gak ikut. Kalau gak ikut, bisa dicengin habis-habisan. Ah.. sok suci loo.” Jadinya
bapak anak sama saja. Main judi. Tapi tak satu kelompok. Buat kelompok sendiri
dengan yang muda-muda.
Rasa ingin berubah itu rupanya berontak. Menggebu-gebu.
Setelah mendengar kakak kelasnya bersosialisasi di depan kumpulan anak-anak.
Yang selalu diingat, “semangat adik-adik. Masak kamu gak mau dapat beasiswa plus uang saku? Lulus langsung diangkat
karyawan lagi.” Bicaranya meyakinkan. Apa
lagi bentuk tubuhnya. Agak berisi. Kelihatan makmur. Beda sekali dengan yang
dulu. Kurus.
Setelah selesai acara sosialisasi, dia mengejar kakak itu.
“Kak, memang bisa juga kalau bukan anak yang tak
peringkat di kelas ikut?”
“Kenapa tidak? Kan yang peringkat belum tentu lulus tes
nantinya?”
Walaupun sempat berpikir, “yang peringkat saja belum
tentu lulus, apa lagi yang tak peringkat!”
Tapi tak ada salahnya bila mencoba. Kalau ini lulus, mungkin
inilah saatnya mengubah peribahasa kondang.
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
Hingga akhirnya lulus sekolah. Pendaftaran untuk
mendapatkan beasiswa dibuka. Siang malam berubah total rutinitas kehidupannya. Tak
ada judi. Dan pergi ke rumah nenek untuk sementara. Mempelajari semua wejangan dari
kakak kelas yang sudah dapat beasiswa. Hampir satu bulan non stop. Dan tak lupa doa, selalu dipanjatkan untuk-Nya.
Tiba saatnya tes pertama.
“Ibu, doakan sukses ya.” Sambil mencium tangan ibu. Dia
bergetar mencium tangan ibu. Dan terdengar bisikan “semoga sukses nak.” Dan
berjalan memandangi bapaknya yang masih tertidur di ruang tamu. Karena semalam
tak tidur.
Keluar rumah, miris hatinya memandangi rumah tua yang
sudah reyot. Melihat ibu di depan pintu yang memandangi dia. Terlihat jelas
sekali kerutan di wajahnya, mungkin karena banyak pikiran.
Tes pertama yang menguras otak membuatnya benar-benar
capek. Tapi semuanya itu tergantikan dengan pengumuman bahwa dia LULUS. Dan
melanjutkan tes berikutnya.
Hampir tiga bulan lamanya tes demi tes dilalui. Walau
sempat ditikam rasa galau. Kapan pengumumannya akhirnya?
Sore hari. Setelah salat magrib, dering HP berbunyi:
Suara bapak-bapak. Mengabarkan bahwa besok Senin depan kamu harus ada di
Jakarta. Untuk tanda tangan kontrak. Kamu dinyatakan LULUS.
Seisi rumah benar-benar haru. “Bu aku lulus.” Ibu
mendengar itu menjadi tak bisa berkata lain, hanya kebesaran-Nya ibu yang bisa terucap.
Setelah lulus, sekarang temanku menjadi seorang teknisi pesawat. Semoga
dari kisah ini kita dapat mengambil pelajarannya. Rupanya, kemauan telah mengubahnya.(ZiyadatulMuhtar)
Mengubah Peribahasa
“Alah.. sok suci aja
loo? Ayo ikut!” Ajak teman yang sudah tahu betul tentang latar belakang dia.
Sambil memegang kartu remi, hatinya bertanya-tanya.
“Apa aku akan seperti ini terus?”
Yakin,
perubahan adalah hal yang pasti. Baik buruknya itu tergantung dari dirinya
sendiri. Seperti cerita hebat temanku yang satu ini. Rupanya kehidupan yang
kurang beruntung membuatnya ingin berubah. Benar-benar berubah. Hidupnya yang
terlahir sebagai anak penjudi, membuatnya harus menerima. Tak bisa protes. Kalau mau protes juga sama siapa? Tuhan!
Minta jadi anak pejabat atau konglomerat aja. Atau presiden.
Mungkin di desa namanya sudah terdaftar sebagai anggota
sampah masyarakat. Hari-hari, rumahnya dijadikan tempat judi. Tiap malam dia
selalu menjadi pelayan dalam kelancaran perjudian. Buat kopi, beli rokok dan
penyedia makanan. Sehingga dari situ dia mendapatkan uang. Akhirnya dia berpikir.
“Apa aku akan seperti ini terus? Makan, bayar uang
sekolah, seragam sekolah dan sepatu. Semuanya dari uang judi. Apakah diterima
salatku?”
Rasa ingin bergaul dengan anak baik-baik rasanya malu, apa
lagi anak masjid? Dan akhirnya bergaul dengan anak-anak yang kurang baik juga.
Dan kadang sesekali juga ikut main judi. “Masak yang punya rumah gak ikut. Kalau gak ikut, bisa dicengin habis-habisan. Ah.. sok suci loo.” Jadinya
bapak anak sama saja. Main judi. Tapi tak satu kelompok. Buat kelompok sendiri
dengan yang muda-muda.
Rasa ingin berubah itu rupanya berontak. Menggebu-gebu.
Setelah mendengar kakak kelasnya bersosialisasi di depan kumpulan anak-anak.
Yang selalu diingat, “semangat adik-adik. Masak kamu gak mau dapat beasiswa plus uang saku? Lulus langsung diangkat
karyawan lagi.” Bicaranya meyakinkan. Apa
lagi bentuk tubuhnya. Agak berisi. Kelihatan makmur. Beda sekali dengan yang
dulu. Kurus.
Setelah selesai acara sosialisasi, dia mengejar kakak itu.
“Kak, memang bisa juga kalau bukan anak yang tak
peringkat di kelas ikut?”
“Kenapa tidak? Kan yang peringkat belum tentu lulus tes
nantinya?”
Walaupun sempat berpikir, “yang peringkat saja belum
tentu lulus, apa lagi yang tak peringkat!”
Tapi tak ada salahnya bila mencoba. Kalau ini lulus, mungkin
inilah saatnya mengubah peribahasa kondang.
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
Hingga akhirnya lulus sekolah. Pendaftaran untuk
mendapatkan beasiswa dibuka. Siang malam berubah total rutinitas kehidupannya. Tak
ada judi. Dan pergi ke rumah nenek untuk sementara. Mempelajari semua wejangan dari
kakak kelas yang sudah dapat beasiswa. Hampir satu bulan non stop. Dan tak lupa doa, selalu dipanjatkan untuk-Nya.
Tiba saatnya tes pertama.
“Ibu, doakan sukses ya.” Sambil mencium tangan ibu. Dia
bergetar mencium tangan ibu. Dan terdengar bisikan “semoga sukses nak.” Dan
berjalan memandangi bapaknya yang masih tertidur di ruang tamu. Karena semalam
tak tidur.
Keluar rumah, miris hatinya memandangi rumah tua yang
sudah reyot. Melihat ibu di depan pintu yang memandangi dia. Terlihat jelas
sekali kerutan di wajahnya, mungkin karena banyak pikiran.
Tes pertama yang menguras otak membuatnya benar-benar
capek. Tapi semuanya itu tergantikan dengan pengumuman bahwa dia LULUS. Dan
melanjutkan tes berikutnya.
Hampir tiga bulan lamanya tes demi tes dilalui. Walau
sempat ditikam rasa galau. Kapan pengumumannya akhirnya?
Sore hari. Setelah salat magrib, dering HP berbunyi:
Suara bapak-bapak. Mengabarkan bahwa besok Senin depan kamu harus ada di
Jakarta. Untuk tanda tangan kontrak. Kamu dinyatakan LULUS.
Seisi rumah benar-benar haru. “Bu aku lulus.” Ibu
mendengar itu menjadi tak bisa berkata lain, hanya kebesaran-Nya ibu yang bisa terucap.
Setelah lulus, sekarang temanku menjadi seorang teknisi pesawat. Semoga
dari kisah ini kita dapat mengambil pelajarannya. Rupanya, kemauan telah mengubahnya.(oenerbitmadza.com/ZiyadatulMuhtar)
- See more at: http://www.penerbitmadza.com/2015/01/mengubah-peribahasa_25.html#sthash.27MrcWl8.MaB5nAzU.dpuf
No comments:
Post a Comment