Tuesday 3 February 2015

Merubah Peribahasa

Mengubah Peribahasa


“Alah.. sok suci aja loo? Ayo ikut!” Ajak teman yang sudah tahu betul tentang latar belakang dia.
Sambil memegang kartu remi, hatinya bertanya-tanya.
“Apa aku akan seperti ini terus?”
            Yakin, perubahan adalah hal yang pasti. Baik buruknya itu tergantung dari dirinya sendiri. Seperti cerita hebat temanku yang satu ini. Rupanya kehidupan yang kurang beruntung membuatnya ingin berubah. Benar-benar berubah. Hidupnya yang terlahir sebagai anak penjudi, membuatnya harus menerima. Tak bisa protes. Kalau mau protes juga sama siapa? Tuhan! Minta jadi anak pejabat atau konglomerat aja. Atau presiden.
Mungkin di desa namanya sudah terdaftar sebagai anggota sampah masyarakat. Hari-hari, rumahnya dijadikan tempat judi. Tiap malam dia selalu menjadi pelayan dalam kelancaran perjudian. Buat kopi, beli rokok dan penyedia makanan. Sehingga dari situ dia mendapatkan uang. Akhirnya dia berpikir.
“Apa aku akan seperti ini terus? Makan, bayar uang sekolah, seragam sekolah dan sepatu. Semuanya dari uang judi. Apakah diterima salatku?”
Rasa ingin bergaul dengan anak baik-baik rasanya malu, apa lagi anak masjid? Dan akhirnya bergaul dengan anak-anak yang kurang baik juga. Dan kadang sesekali juga ikut main judi. “Masak yang punya rumah gak ikut. Kalau gak ikut, bisa dicengin habis-habisan. Ah.. sok suci loo.” Jadinya bapak anak sama saja. Main judi. Tapi tak satu kelompok. Buat kelompok sendiri dengan yang muda-muda.
Rasa ingin berubah itu rupanya berontak. Menggebu-gebu. Setelah mendengar kakak kelasnya bersosialisasi di depan kumpulan anak-anak. Yang selalu diingat, “semangat adik-adik. Masak kamu gak mau dapat beasiswa plus uang saku? Lulus langsung diangkat karyawan lagi.” Bicaranya meyakinkan. Apa lagi bentuk tubuhnya. Agak berisi. Kelihatan makmur. Beda sekali dengan yang dulu. Kurus.
Setelah selesai acara sosialisasi, dia mengejar kakak itu.
“Kak, memang bisa juga kalau bukan anak yang tak peringkat di kelas ikut?”
“Kenapa tidak? Kan yang peringkat belum tentu lulus tes nantinya?”
Walaupun sempat berpikir, “yang peringkat saja belum tentu lulus, apa lagi yang tak peringkat!”
Tapi tak ada salahnya bila mencoba. Kalau ini lulus, mungkin inilah saatnya mengubah peribahasa kondang.
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
Hingga akhirnya lulus sekolah. Pendaftaran untuk mendapatkan beasiswa dibuka. Siang malam berubah total rutinitas kehidupannya. Tak ada judi. Dan pergi ke rumah nenek untuk sementara. Mempelajari semua wejangan dari kakak kelas yang sudah dapat beasiswa. Hampir satu bulan non stop. Dan tak lupa doa, selalu dipanjatkan untuk-Nya.
Tiba saatnya tes pertama.
“Ibu, doakan sukses ya.” Sambil mencium tangan ibu. Dia bergetar mencium tangan ibu. Dan terdengar bisikan “semoga sukses nak.” Dan berjalan memandangi bapaknya yang masih tertidur di ruang tamu. Karena semalam tak tidur.
Keluar rumah, miris hatinya memandangi rumah tua yang sudah reyot. Melihat ibu di depan pintu yang memandangi dia. Terlihat jelas sekali kerutan di wajahnya, mungkin karena banyak pikiran.
Tes pertama yang menguras otak membuatnya benar-benar capek. Tapi semuanya itu tergantikan dengan pengumuman bahwa dia LULUS. Dan melanjutkan tes berikutnya.
Hampir tiga bulan lamanya tes demi tes dilalui. Walau sempat ditikam rasa galau. Kapan pengumumannya akhirnya?
Sore hari. Setelah salat magrib, dering HP berbunyi: Suara bapak-bapak. Mengabarkan bahwa besok Senin depan kamu harus ada di Jakarta. Untuk tanda tangan kontrak. Kamu dinyatakan LULUS.
Seisi rumah benar-benar haru. “Bu aku lulus.” Ibu mendengar itu menjadi tak bisa berkata lain, hanya kebesaran-Nya ibu yang bisa terucap.
Setelah lulus, sekarang temanku menjadi seorang teknisi pesawat. Semoga dari kisah ini kita dapat mengambil pelajarannya. Rupanya, kemauan telah mengubahnya.(oenerbitmadza.com/ZiyadatulMuhtar)
- See more at: http://www.penerbitmadza.com/2015/01/mengubah-peribahasa_25.html#sthash.27MrcWl8.MaB5nAzU.dpuf
 
“Alah.. sok suci aja loo? Ayo ikut!” Ajak teman yang sudah tahu betul tentang latar belakang dia.
Sambil memegang kartu remi, hatinya bertanya-tanya.
“Apa aku akan seperti ini terus?”
            Yakin, perubahan adalah hal yang pasti. Baik buruknya itu tergantung dari dirinya sendiri. Seperti cerita hebat temanku yang satu ini. Rupanya kehidupan yang kurang beruntung membuatnya ingin berubah. Benar-benar berubah. Hidupnya yang terlahir sebagai anak penjudi, membuatnya harus menerima. Tak bisa protes. Kalau mau protes juga sama siapa? Tuhan! Minta jadi anak pejabat atau konglomerat aja. Atau presiden.
Mungkin di desa namanya sudah terdaftar sebagai anggota sampah masyarakat. Hari-hari, rumahnya dijadikan tempat judi. Tiap malam dia selalu menjadi pelayan dalam kelancaran perjudian. Buat kopi, beli rokok dan penyedia makanan. Sehingga dari situ dia mendapatkan uang. Akhirnya dia berpikir.
“Apa aku akan seperti ini terus? Makan, bayar uang sekolah, seragam sekolah dan sepatu. Semuanya dari uang judi. Apakah diterima salatku?”
Rasa ingin bergaul dengan anak baik-baik rasanya malu, apa lagi anak masjid? Dan akhirnya bergaul dengan anak-anak yang kurang baik juga. Dan kadang sesekali juga ikut main judi. “Masak yang punya rumah gak ikut. Kalau gak ikut, bisa dicengin habis-habisan. Ah.. sok suci loo.” Jadinya bapak anak sama saja. Main judi. Tapi tak satu kelompok. Buat kelompok sendiri dengan yang muda-muda.
Rasa ingin berubah itu rupanya berontak. Menggebu-gebu. Setelah mendengar kakak kelasnya bersosialisasi di depan kumpulan anak-anak. Yang selalu diingat, “semangat adik-adik. Masak kamu gak mau dapat beasiswa plus uang saku? Lulus langsung diangkat karyawan lagi.” Bicaranya meyakinkan. Apa lagi bentuk tubuhnya. Agak berisi. Kelihatan makmur. Beda sekali dengan yang dulu. Kurus.
Setelah selesai acara sosialisasi, dia mengejar kakak itu.
“Kak, memang bisa juga kalau bukan anak yang tak peringkat di kelas ikut?”
“Kenapa tidak? Kan yang peringkat belum tentu lulus tes nantinya?”
Walaupun sempat berpikir, “yang peringkat saja belum tentu lulus, apa lagi yang tak peringkat!”
Tapi tak ada salahnya bila mencoba. Kalau ini lulus, mungkin inilah saatnya mengubah peribahasa kondang.
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
Hingga akhirnya lulus sekolah. Pendaftaran untuk mendapatkan beasiswa dibuka. Siang malam berubah total rutinitas kehidupannya. Tak ada judi. Dan pergi ke rumah nenek untuk sementara. Mempelajari semua wejangan dari kakak kelas yang sudah dapat beasiswa. Hampir satu bulan non stop. Dan tak lupa doa, selalu dipanjatkan untuk-Nya.
Tiba saatnya tes pertama.
“Ibu, doakan sukses ya.” Sambil mencium tangan ibu. Dia bergetar mencium tangan ibu. Dan terdengar bisikan “semoga sukses nak.” Dan berjalan memandangi bapaknya yang masih tertidur di ruang tamu. Karena semalam tak tidur.
Keluar rumah, miris hatinya memandangi rumah tua yang sudah reyot. Melihat ibu di depan pintu yang memandangi dia. Terlihat jelas sekali kerutan di wajahnya, mungkin karena banyak pikiran.
Tes pertama yang menguras otak membuatnya benar-benar capek. Tapi semuanya itu tergantikan dengan pengumuman bahwa dia LULUS. Dan melanjutkan tes berikutnya.
Hampir tiga bulan lamanya tes demi tes dilalui. Walau sempat ditikam rasa galau. Kapan pengumumannya akhirnya?
Sore hari. Setelah salat magrib, dering HP berbunyi: Suara bapak-bapak. Mengabarkan bahwa besok Senin depan kamu harus ada di Jakarta. Untuk tanda tangan kontrak. Kamu dinyatakan LULUS.
Seisi rumah benar-benar haru. “Bu aku lulus.” Ibu mendengar itu menjadi tak bisa berkata lain, hanya kebesaran-Nya ibu yang bisa terucap.
Setelah lulus, sekarang temanku menjadi seorang teknisi pesawat. Semoga dari kisah ini kita dapat mengambil pelajarannya. Rupanya, kemauan telah mengubahnya.(ZiyadatulMuhtar)

Mengubah Peribahasa


“Alah.. sok suci aja loo? Ayo ikut!” Ajak teman yang sudah tahu betul tentang latar belakang dia.
Sambil memegang kartu remi, hatinya bertanya-tanya.
“Apa aku akan seperti ini terus?”
            Yakin, perubahan adalah hal yang pasti. Baik buruknya itu tergantung dari dirinya sendiri. Seperti cerita hebat temanku yang satu ini. Rupanya kehidupan yang kurang beruntung membuatnya ingin berubah. Benar-benar berubah. Hidupnya yang terlahir sebagai anak penjudi, membuatnya harus menerima. Tak bisa protes. Kalau mau protes juga sama siapa? Tuhan! Minta jadi anak pejabat atau konglomerat aja. Atau presiden.
Mungkin di desa namanya sudah terdaftar sebagai anggota sampah masyarakat. Hari-hari, rumahnya dijadikan tempat judi. Tiap malam dia selalu menjadi pelayan dalam kelancaran perjudian. Buat kopi, beli rokok dan penyedia makanan. Sehingga dari situ dia mendapatkan uang. Akhirnya dia berpikir.
“Apa aku akan seperti ini terus? Makan, bayar uang sekolah, seragam sekolah dan sepatu. Semuanya dari uang judi. Apakah diterima salatku?”
Rasa ingin bergaul dengan anak baik-baik rasanya malu, apa lagi anak masjid? Dan akhirnya bergaul dengan anak-anak yang kurang baik juga. Dan kadang sesekali juga ikut main judi. “Masak yang punya rumah gak ikut. Kalau gak ikut, bisa dicengin habis-habisan. Ah.. sok suci loo.” Jadinya bapak anak sama saja. Main judi. Tapi tak satu kelompok. Buat kelompok sendiri dengan yang muda-muda.
Rasa ingin berubah itu rupanya berontak. Menggebu-gebu. Setelah mendengar kakak kelasnya bersosialisasi di depan kumpulan anak-anak. Yang selalu diingat, “semangat adik-adik. Masak kamu gak mau dapat beasiswa plus uang saku? Lulus langsung diangkat karyawan lagi.” Bicaranya meyakinkan. Apa lagi bentuk tubuhnya. Agak berisi. Kelihatan makmur. Beda sekali dengan yang dulu. Kurus.
Setelah selesai acara sosialisasi, dia mengejar kakak itu.
“Kak, memang bisa juga kalau bukan anak yang tak peringkat di kelas ikut?”
“Kenapa tidak? Kan yang peringkat belum tentu lulus tes nantinya?”
Walaupun sempat berpikir, “yang peringkat saja belum tentu lulus, apa lagi yang tak peringkat!”
Tapi tak ada salahnya bila mencoba. Kalau ini lulus, mungkin inilah saatnya mengubah peribahasa kondang.
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya.”
Hingga akhirnya lulus sekolah. Pendaftaran untuk mendapatkan beasiswa dibuka. Siang malam berubah total rutinitas kehidupannya. Tak ada judi. Dan pergi ke rumah nenek untuk sementara. Mempelajari semua wejangan dari kakak kelas yang sudah dapat beasiswa. Hampir satu bulan non stop. Dan tak lupa doa, selalu dipanjatkan untuk-Nya.
Tiba saatnya tes pertama.
“Ibu, doakan sukses ya.” Sambil mencium tangan ibu. Dia bergetar mencium tangan ibu. Dan terdengar bisikan “semoga sukses nak.” Dan berjalan memandangi bapaknya yang masih tertidur di ruang tamu. Karena semalam tak tidur.
Keluar rumah, miris hatinya memandangi rumah tua yang sudah reyot. Melihat ibu di depan pintu yang memandangi dia. Terlihat jelas sekali kerutan di wajahnya, mungkin karena banyak pikiran.
Tes pertama yang menguras otak membuatnya benar-benar capek. Tapi semuanya itu tergantikan dengan pengumuman bahwa dia LULUS. Dan melanjutkan tes berikutnya.
Hampir tiga bulan lamanya tes demi tes dilalui. Walau sempat ditikam rasa galau. Kapan pengumumannya akhirnya?
Sore hari. Setelah salat magrib, dering HP berbunyi: Suara bapak-bapak. Mengabarkan bahwa besok Senin depan kamu harus ada di Jakarta. Untuk tanda tangan kontrak. Kamu dinyatakan LULUS.
Seisi rumah benar-benar haru. “Bu aku lulus.” Ibu mendengar itu menjadi tak bisa berkata lain, hanya kebesaran-Nya ibu yang bisa terucap.
Setelah lulus, sekarang temanku menjadi seorang teknisi pesawat. Semoga dari kisah ini kita dapat mengambil pelajarannya. Rupanya, kemauan telah mengubahnya.(oenerbitmadza.com/ZiyadatulMuhtar)
- See more at: http://www.penerbitmadza.com/2015/01/mengubah-peribahasa_25.html#sthash.27MrcWl8.MaB5nAzU.dpuf

No comments:

Post a Comment