Friday 9 October 2015

Pentingnya Sebuah Musyawaroh


          Kususuri padatnya embun pagi yang masih buta. Butiran-butiran mutiara air menetes dari ujung dedaunan. Ini karena derasnya hujan tadi malam. Sampai-sampai matahari yang masih dalam buaian sisa cahaya malam, belum juga muncul pesonanya. Dan sabit malam masih bergantung sempurna di langit mampang. Tapi tidak ada tumpahan bintang.
          Sepi benar-benar menyelimuti. Pohon asam berbaris diselingi rumput ilalang di setiap pinggir garis jalan nan panjang. Belaian angin pagi menyelisik bulu-bulu halus wajahku. Menyelinap di baju putih, jaket hitam lengan panjang. Serta balutan rok span berwana biru tua. Dinginnya angin terasa membangkitkan gairah semangat pagiku. Diiringi sepatu hak yang selalu setia menemaniku, klek....klek....klek di setiap langkahku. Memecah suara keheningan pagi bersama krik... krik... suara jangkrik.
          Aku tak boleh kalah dengan datangnya sinar pagi yang lebih dulu muncul. Aku tak boleh hanyut dengan tipu daya waktu dengan balut kerinduan. Aku harus berjuang. Inilah konsekuensi bila menganut kata emansipasi wanita.
          Akhirnya keluar juga aku dari jalan yang berlangitkan daun asam. Kini aku ada di belokan jalan. Di bawah tiang yang tercantolkan lampu aku memasang pijakan. Putih remang. Aku berdiri mematung tuk menunggu datangnya bus. Bus yang menuju kantorku. Ini pertama kalinya aku berangkat dari rumah nenek. Rumah yang berada di sekitar sawah pinggiran kota hujan. Tapi apa boleh buat, ini adalah jalan satu-satunya untuk mengelak kemauan orang tua. Kemauan untuk dijodohkan dengan seseorang. Walaupun aku tak cukup tahu siapa dia sebenarnya. Tapi kabar yang kian menyapa, dia bukan laki baik-baik. Sehingga berat rasa hati ini bila harus menikah dengannya.
          Kini separuh jiwaku sudah dimiliki oleh pujaan hati. Dan separuhnya lagi masih tersimpan di hatiku yang sekarang dipenuhi rindu.
          Dari tadi belum ada bus yang melintas. Hanya sesekali sepeda motor dan suara was... wus angin pagi. Di sela-sela angin petang terdengarlah suara serak yang menyengat bulu kudukku, hingga merinding dibuatnya. “Tooolong... to, long...” Semakin was-was ketika suaranya berulah lagi. Aku yakin bahwa suara itu berasal dari semak-semak sungai di sebelahku. Aku malah semakin takut. Apa yang harus aku perbuat sekarang? Apakah aku harus lari? Tapi mau lari ke mana? Kanan-kiri semuanya sawah.
          Aku masih diam saja. Setia menunggu datangnya bus. Tapi, rasa penasaranku semakin menguras emosi. Buncah. Aku ingin mendatangi suara itu. Aku yakin dia sangat membutuhkan uluran tangan. Kulangkahkan kakiku dengan penuh keraguan.
          Mataku melihat ada goresan-goresan yang mencetak warna tersendiri di hitamnya warna aspal. Semu putih menggaris dan berakir di tepi jalan beraspal. Garisnya tersambug lagi di tanah. Berakhir di bibi sungai yang lumayan curam. Perasaanku semakin yakin bahwa dia terpeleset karena derasnya curah hujan tadi malam. Kumajukan leherku dengan bola mata yang berputar-putar mengelilingi sudut sungai. “Ah.... Mana orangnya? Apa jangan-jangan hantu ya?”  Bibirku komat-kamit dengan bercampur ribuan takut. Kulangkahkan kaki ke kanan-kiri. Akhirnya pandanganku tertuju pada satu titik. Helem warna putih menyangkut di atas kerumunan semak-semak.
          “To..toolong.” Suara serak laki-laki dengan sangat berat terdengar lagi.
          Tertelungkup di atas lebatnya semak-semak. Dengan pandangan yang tak jelas kuyakinkan bahwa jaketnya hitam. Disela-sela kepanikan, naluri hatiku ingin menolong. Tapi apa yang harus kulakukan? Haruskah aku turun menolongnya? Ah.., masak begini saja tidak bisa? Cemoohku dalam hati. Aku harus menolongnya. Walaupun lumayan curam. Bismillah” Kulipat lengan jaket ke atas. Kulepas sepatu hakku. Kulangkahkan kaki kananku.
          Eh... tiba-tiba, sorotan cahaya dari kanan menghentikan langkahku. Kutolehkan wajah ini. Ternyata itu mobil. Segera kulangkahkan kaki ke tengah jalan. Walaupun masih puluhan meter dari tempatku berdiri, aku angkat kedua tangan ini layaknya huruf “x”. Yang terjadi apa? Malah kerdipan lampu mobil dan suara tan...tin...tun. Dan akhirnya berhenti. Pintu mobil sebelah kanan depan terbuka. Keluarlah seorang laki-laki setengah dewasa. Disusul orang tua yang memakai peci hitam dari pintu sebelahnya.
          “Mau mati ya? Pagi-pagi udah kayak orang gila.” Sambil memasang raut muka jengkel.
          Tanpa kata-kata, langsung kutarik bapak itu. Sambil jari telunjuk kanan kuarahkan ke laki-laki malang.
          “Hah, ayo kita tolong!”
          Kurang lebih empat belas menit. Terangkatlah laki-laki malang itu sampai ke atas. Bersama sorot cahaya matahari pagi yang semakin bertambah watt-nya. Aku lihat jaket lusuh bercampur tanah merah. Sepertinya aku kenal jaketnya. Kupandangi wajahnya yang sudah berlumuran darah.
          “Haaah....! Ayahhhhhhhhh!”
***
Di dalam ruangan berpetak rumah sakit aku merenung. Ini semua gara-gara aku. Aku yang seharusnya pada hari Jumat ada di rumah setelah pulang kerja, malah menginap di rumah nenek sampai hari Senin.
Ayah yang khawatir terjadi sesuatu pada anaknya pun harus jauh-jauh dari pinggiran kota Jakarta menuju ke Bogor. Tempat nenekku tinggal. Tadi malam ayah berangkat dari Jakarta dengan cuaca yang cerah. Untuk mengantisipasi macetnya arus balik para pelibur akhir pekan, maka ayah putuskan naik motor. Tapi karena prediksi yang kurang tepat, tidak tahunya tetesan air dari langit membasahi kota Bogor. Dan pada saat itu ayah tidak membawa jas hujan. Dirasa sudah dekat dengan rumah nenek maka ayah nekat. Hujan yang semakin deras membuat ayah semakin cepat-cepat ingin sampai. Tapi malaikat takdir mempunyai jawaban yang beda. Belum sampai rumah nenek, ketika akan belok ke kanan roda motor depan tak terkendali. Jalan beraspal yang licin juga berlobang membuat ayah lepas kendali. Akhirnya terpeleset dan jatuh ke sungai.
Walaupun masalah jodoh biarkan hati yang bicara. Rupanya bukan seperti ini caranya. Harus ada omongan. Rupanya diam dan menghindar tak menyelesaikan masalah. Mungkin kalau semua diselesaikan dengan musyawaroh tak akan seperti ini.

No comments:

Post a Comment