Lengkungan
bibirku dihiasi dengan warna merah merekah. Helain rambut sejak tadi sudah
tertata rapi. Makeup tebal yang
membungkus menyembunyikan wajah asliku. Sekarang yang muncul adalah wajah
cantik dengan elok kepalsuan. Begitu juga dengan senyumku. Senyum kepalsuan.
Sangat tidak mungkin bila aku langsug jatuh cinta kepada orang yang pernah
membakar api cintaku. Berharap dan berharap agar hatiku bisa menerima cintanya.
Emang perasaan hati tak bisa dibohogi.
Hari
ini hari yang sepesial, hari yang
indah, hari yang dipenuhi cinta. Itulah kata orang-orang. Cahaya Matahari pun
ikut bersaksi. Yang biasanya menyembunyikan pesonanya kini telah mencul
seutuhnya walaupun musim hujan. Bagiku ini adalah hari yang menakutkan. Aku
ragu atas keputusanku. Aku belum siap bila ini awal penderitaan baru. Sebelum
berangkat ke tempat acara ibuku mendatangiku setelah dirias.
“Fir,...?”
Aku
terdiam. Kupeluk ibu. Kurasakan kedamaina di hatiku.
Tibalah
aku di gedung dimana resepsi pernikahan akan dilaksanakan. Baju kedodoran putih
membuatku semakin jelas akan bayang-bayang kehidupan. Pernikahan. Pertama
kalinya aku di rias seribet ini. Berjalan pun harus pelan-pelan. Di hadapan
sorot mata para undangan yang hadir
sempat membuat hati bergetar. Bergetar malu. Ditambah kilatan cahaya para
pengambil gambar kenanganku.
Bunga-bunga yang tersusun rapi, di belakang
tempat duduk, di samping tempat duduk dan di depan tempat duduk. Air pancura
mengalir indah di depn tempat duduk. Aku duduk di samping Henriyaho Denengrat
dan di antara tempat duduk adalah kedua orang tua kami. Ayahku yang masih sakit
memaksakan untuk mendampingiku dengan bantuan tongkat. Aku merasa sangat kasian
sama ayah. Betapa cintanya ayah padaku. Tak henti-hentinya bersama cahaya kilat,
momentku diabadikan.
Dimulailah acaranya. Dibacakanya
sambutan-sambutan dari perwakilan orang tua kami. Sambutan-sambutanya
menginagat akan kehidupanku. Aku dulu kecil makan disuapi, dingin-dingin
diselimuti. Ibu yang merelakan masa hidupnya tersita demi anaknya. Ibu yang
selalu ada bila aku sedih. Ibu yang dekapannya memberi kedamain. Begitu juga
pengorbanan ayah. Ayah yang harus bangun pagi-pergi ke kantor demi
kesejahteraan keluarga. Aku yang biasanya dimanja orang tua bakalan pisah
denganya. Tidak ada belain tangan ibu, tidak ada sandaran kepala yang bisa
menenangkan dan tidak ada nasehat yang dulu sempat saya abaikan.
Dilanjutkan
acara sungkeman. Aku tertunduk di hadapan kaki ayah dan dilanjutkan kaki ibu.
Kulirik wajah ayah yang menitikkan air mata. Tak kuasa, tertetes air mataku. Dilanjutkan
di hadapan ibu. Aku yang dibanjiri air mata tiba-tiba ada yang menyapunya. Sebuah tisu membersihkan tetes air mata di
wajahku. Ternyata tangan ibu. Aku semakin tidah kuat dibuatnya. Tetesan air
mata malah makin terkucur.
Sekarang
gerbang kehidupan baru telah menyambut di depan mata. Kehidupan baru yang penuh
akan tanda tanya. Baik atau buruk aku juga tidak tau.
Tibalah acara potong kue. Kupotong kue dan
langsung kuberikan ayah dan ibu. Aku tahu ini tak ada di daftar acara. Seharusnya
kami makan berdua dengan Henriyano. Dan Hendriyao pun juga mempersilahkanya.
Setelah acara selesai poto-poto dilanjutkan
lagi. Banyak orang yang ingin berpoto bersama kami. Termasuk teman-teman
kerjaku. Malah teman yang dulu akrab denganku sekarang tidak ada. Mungkin di
bersenang-senang di atas penderitaanku.
Malam petama. Aku duduk di depan meja rias
yang berkaca. Di dalam kamar, hatiku brcampur rasa ketakutan. Baru pertama kali
ini aku akan bersama laki-laki di dalam kamar. Berdua dengan orang yang tidak
saya cintai.
Kulihat dia semakin mendekatiku. Mendaratlah
pelukan dari belakan tubuhku. Aku sempat terkaget dan merasa takut. Terbisik
suara di telingaku.
“Sayang, kamu gak kenapa-napa kan? Dri tadi
diam aja.”
Dengan gelengan kepala aku menjawabnya.
Diciumlah pipi kiriku. Hatiku makin terpacu getaranya. Aku lemasa dibuatnya.
“Sayang kamu, capek?”
Aku diam saja dengan pelukanya.
Baru kali ini aku dipanggil sayang. Aku sempat
merasakan perhatian. Perhatian dari orang yang baru hadir dalam hidupku. Semoga
ini menjadi benih cinta dalam hatiku.
“Ya, sudah tidur saja dulu. Keliatanya kamu
sangat capek setelah acara tadi”
Di tuntunlah aku ketempat pembaringan. Sebelum
aku tidur selimut di tutupka padaku. Di tambah kecupan kening dan ucapa selamat
tidur.
“Met,
tidur sayang.”
Sebenarya
aku tidak terlalu capek. Kalaupun aku harus menunaikan kewajiban seorang istri
atas suami aku mampu malam ini. Tapi dia tidak memintanya. Jujur sebenarnya aku
belum siap. Hatiku masih tersirat rasa takut denganya. Dari perhatianya, sifat
perhatian padaku aku menjadi sedikit berkurang.
Sebelum
aku tidur aku melihat majahnya. Wajah yang berada di sampingku lumayan ganteng.
Mau kucoba untuk mencium pipinya, tapi
aku urungkan niatku.
Pagi ini pagi yang tidak seperti biasanya.
Biasanya aku beragkat ke kantor. Tapi kali ini aku telah diberi izin untuk libur
selama empat hari. Katanya sih untuk bula madu.
Aku
kelilingi rumah baru ini. Rumah ini merupakan rumah hadiah dari ayah
Hendriyano. Ini adalah bukti betapa senangnya orang tua Hendriyano. Senang bila
anaknya nikah denganku. Pekarangan depan lumayan lebar. Ada pekarangan belakang
juga. Rumah ini lumayan mewah.
Kuliat
ada dedauanan yang tercecer di halaman. Kucari sapu untuk membersihkanya. Ketika aku sedang menyapu, terdegar suara
dari belakangku.
“Bidadari
jatuh di halaman rumah, Eh sedang bersih-bersih rupanya.”
“Apa
sih mas,... bisa aja.”
“Udah
nanti aja, masih pagi.... jalan-jalan yuk. Sekalian cari sarapa.”
“Ah,
nanggung.... Tinggal sedikit lagi.”
“Yaudah,
saya panasin mobil dulu.” Bergegas dia meiggalkanku.
Aku
sapu hingga bersih. Kubawa sampah ke kotak sampah depan pagar.Aku lihat Henriyano
yang sedang mengelus mobil birunya. “Ganteg juga ya ternyata. Makasih Ya Allah
engkau memberikan suami yang ganteng. Dan mudah-mudahan dia baik juga.”
Terlempar
senyuman darinya. Kubalas senyuman malu dariku.
“Ayo... udah siap Bidadari cantik”
Aku
makin dibuatnya malu. “Apaan sih mas.... bisa aja.”
Setelah
pintu rumah terkunci, kami naik mobil. Diperjalanan kami salig diam. Beberapa
menit kemudian akirya omogan keluar dari mulut kami.
“Kataya
jalan-jalan, Kok naik mobil.” Tanyaku iseng.
“O,
iya...ya. Tapi kan mobilya jalan. Hehe” Jawawnya degan senyuman.
“Heee,
gitu ya....Hehehe” Aku pun juga ikut tersenyum.
“Eh,
kamu suka makanan apa?”
“Apa
ya...? Kasih tau gak ya?”
“Kasih
tau donk......”
“Makanan
yang enak. Yang enak di mulut....”
“Yang
paling enak....maksudnya.”
“Aku
suka maka sate. Hehehe”
“O,...
Sate. Ternyata jauh-jauh dari Prancis sukanya masih sate....Hehe.”
Di
dekat alun-alu mobil dihentikan. Alun-alun tidak terlalu ramai. Haya
orang-orang tua dan beberapa anak yang berlarian. Aku hanya berjalan
mengelilingi lapangan sambil bercanda. Diajaklah aku ke sebuah warung makan
terbuka dekat alun-alun. Menu pagi ini cuma ada nasi uduk. Tidak ada yang lain.
Kami pun akirnya memesan dua porsi dan dua gelas teh manis hangat.
Kami
duduk di kursi bawah pohon yang besar. Nasi uduk yang biasa-biasa saja terasa
nikmat degan rasa perhatian dia padaku. Aku malu dilihat orang ketika mau
disuapin. Sehigga kugeleng-gelengkan kepalaku dan kubilang. “Ada orang, malu”
Setelah
selesai akirnya kami pulang.
Aku
malu sebagai wanita yang tak bisa memasak. Aku sungguh menyesal. Aku yang sejak
dulu hanya makan dari masakan ibu atau membeli bila sedang ada di kantor.
Begitu juga pada saat aku belajar di Prancis. Hanya beli dan beli. Merasakan
apakah mkanan kurang eanak atau sudah enak. Itu yang bisa kulakukan. Diam-diam
aku ke dapur untuk mencoba memasak. Kuingat-ingat bumbu ketika aku memasak di
rumah nenek.Aku coba. Aku berharap masakan ini enak. “Eh... . Apa aku telephon
nenek saja ya? Nenekkan ahli masak-memasak” Bisiku dalam hati.
Kuambil HP.
Tersambunglah ke nomor telepon rumah nenek.
“Assalamualaikum,...
Nek?”
“Waalaikum salam,...”
“Ini Syafira nek”
“Syafira, Eh...
Pengantin baru. Gimana ni ayo?”
“Apa sih nek? Nenek
Syafira mau tanya resep-resep.”
“Resep-resep? Resep
malam pertama ya?”
“Iiiiih nenek.
Resep-resep makanan lah.”
“Oooo, kirain. Yah
tenang aja. Emang kamu buat apa?”
“Apa ya....? Kalau
siang enaknya apa ya nek? Apa kayak kemarin yang di masak pas kerumah nenek?”
“Yah gak papa”
“Tapi fira belum
bersihin sayuranya. Yah nanti saya hubungi lagi ya nek.”
“Iya deh. Pokoknya kamu
harus bisa masak. Malu dong masak cucuc nenek gak bisa masak.
“Iya...iya nek.... Makasih ya”
Segera kubersihkan sayur-sayuran yang akan dimasak.
Dilanjutkan tanya kenenek apa langkah selanjutnya. Aku memasak sambil teleponan
sama nenek. Hingga akirnya selesai juga masakan pertamaku. O, iya. Bagaimana
kalau goreng telur. Kalau cuma goreng telur pasti bisalah. “Kecil lah...,”
kataku pelan.
Ku pecah telur di atas penggorenan. Aku takut
hasilnya gosong. Langsung kubolak-balik telur. Eh apa hasilnya hancur telurnya.
Tak bisa seperti ketika beli di warung. Aduh...! aku lupa belum dikasih garam.
Langsung ku campur garam tadi bersama telur yang hancu. Setelah cukup matang ku
angkat telur itu. “Waduh...” Telur yang tadi kumasak jatuh berceceran di atas
lantai. Aku memang belum mahir menggunakan alat penggorengan.Terpaksa. Kubuang
telur tadi. Ah ku coba lagi saja.
Percobaan
kedua pasti berhasil. Kali ini bukan telur ceplok. Tapi telur dadar setahuku. Kutambah
minyak goreng lagi. Kucampur telur, garam dan irisan bawang merah. Aku yakin
ini pasti berhasil. “Aku,...” Ucapku dengan penuh keyakinan.
Akrinya
jadi juga telur goreng buatanku. Segera kubawa masakan semua ke meja makan.
Suami
baru yang sedang dihadapan laptop kupanggil. Untuk kuajak makan bareng.
“Mas,
makan dulu yok...?” Sapaku dari belakang kursi duduknya. Tertoleh wajah
Henriyano dan berkata.
“Wah...,
masak tadi.”
“Ayo....”
Ajakku.
Diatas
meja makan kami makan bersama. Walaupun hanya sederhana, kuliat dia dengan
lahap makan masakanku. Sampai dia nambah lagi. Entah, apakah ini hanya pujian
dalam bentuk tindakan. Dia mungkin ingin
menyenangkan hatiku atau memang enak masakanya. Perasaan biasa saja.
“Wah,
masakanya enak...”
“Biasa
aja, kali mas....”
“Suer
deh, enak. Aku belum pernah makan sayur bayam seenak ini. Cocok dilidahku. Ap
lagi di temani bidadari di hadapanku”
“Mulai
lagi dah, gombalnya. La bisa masak aja baru kok.”
“Pokoknya,
mantap...Hehe.
Aku
hanya bisa tersenyum. Wanita mana yang tidak terbuai dengan kata-kata pujian.
Walaupun aku tak tau apakah itu benar enak masakanku tapi hatiku cukup terhibu.
Aku merasa sangat dihargai atas kerja kerasku.
Hari
demi hari kami lalu bersama. Kurasakan perhatianya yang menebarkan benih cinta kini
kian subur. Apakah aku sudah mulai jatuh cinta. Tapikan baru beberapa hari aku
bersamanya. Perasaan tidak menyesal karea aku dimilikinya. Yang tadinya aku
dipenui rasa takut sekarang aku merasa bahagia. Dulu kata orang Hendriyano
orang tidak baik. Tapi enggak juga. Apa karena kebaikanya saja yang baru
kutahu? Sedangkan keburukanya belum ketahuan. Tapi biarkan dulu lah. Biarkan
aku jatuh cinta. Biar aku lupa sakit hatiku pada Keyla dan Suaminya.
Sekarang
kurasakan kedamain hati yang mulai penuh cinta. Kenapa aku dulu harus
memperjuangkan cinta yang tak jelas akirya? Bodohnya aku yang harus mengulur
waktu sembilan puluh sembilan. Jelas-jelas sudah ada malaikat cinta yang
menungguku dengan penuh setia. Memang ayahku orang yang hebat. Tidak salah
keputusanya. Makasih ayah.
Malam-malampun
kami lalaui berdua. Aku yang sudah jadi miliknya semakin nyaman tidur
bersamanya. Kurasakan belaian-belaian lembut yang membankitkan rasa cinta.
“Sayang
kamu begitu cantik” Bisikan lembut bersama pelukan penuh cinta.
Hanya
seyuma manis manja yang bisa kuperbuat. Dibelailah pipiku. Aku semkin terlena
olehnya.
“Sayang
aku sangat mencintaimu, sangat mencintaimu” Ucapnya dengan pelukan yang semakin
membuat aku tak berdaya.
Malam
ini terasa milik kami berdua. Tak lupa, ribuan doa telah mengawalinya. Hingga
akirnya kami terlelap dengan pelukan cinta.
No comments:
Post a Comment