Saturday 7 November 2015

Novel Bab 8



Lengkungan bibirku dihiasi dengan warna merah merekah. Helain rambut sejak tadi sudah tertata rapi. Makeup tebal yang membungkus menyembunyikan wajah asliku. Sekarang yang muncul adalah wajah cantik dengan elok kepalsuan. Begitu juga dengan senyumku. Senyum kepalsuan. Sangat tidak mungkin bila aku langsug jatuh cinta kepada orang yang pernah membakar api cintaku. Berharap dan berharap agar hatiku bisa menerima cintanya. Emang perasaan hati tak bisa dibohogi.
Hari ini hari yang sepesial, hari yang indah, hari yang dipenuhi cinta. Itulah kata orang-orang. Cahaya Matahari pun ikut bersaksi. Yang biasanya menyembunyikan pesonanya kini telah mencul seutuhnya walaupun musim hujan. Bagiku ini adalah hari yang menakutkan. Aku ragu atas keputusanku. Aku belum siap bila ini awal penderitaan baru. Sebelum berangkat ke tempat acara ibuku mendatangiku setelah dirias.
“Fir,...?”
Aku terdiam. Kupeluk ibu. Kurasakan kedamaina di hatiku.
Tibalah aku di gedung dimana resepsi pernikahan akan dilaksanakan. Baju kedodoran putih membuatku semakin jelas akan bayang-bayang kehidupan. Pernikahan. Pertama kalinya aku di rias seribet ini. Berjalan pun harus pelan-pelan. Di hadapan sorot mata para undangan  yang hadir sempat membuat hati bergetar. Bergetar malu. Ditambah kilatan cahaya para pengambil gambar kenanganku.
   Bunga-bunga yang tersusun rapi, di belakang tempat duduk, di samping tempat duduk dan di depan tempat duduk. Air pancura mengalir indah di depn tempat duduk. Aku duduk di samping Henriyaho Denengrat dan di antara tempat duduk adalah kedua orang tua kami. Ayahku yang masih sakit memaksakan untuk mendampingiku dengan bantuan tongkat. Aku merasa sangat kasian sama ayah. Betapa cintanya ayah padaku. Tak henti-hentinya bersama cahaya kilat, momentku diabadikan.
   Dimulailah acaranya. Dibacakanya sambutan-sambutan dari perwakilan orang tua kami. Sambutan-sambutanya menginagat akan kehidupanku. Aku dulu kecil makan disuapi, dingin-dingin diselimuti. Ibu yang merelakan masa hidupnya tersita demi anaknya. Ibu yang selalu ada bila aku sedih. Ibu yang dekapannya memberi kedamain. Begitu juga pengorbanan ayah. Ayah yang harus bangun pagi-pergi ke kantor demi kesejahteraan keluarga. Aku yang biasanya dimanja orang tua bakalan pisah denganya. Tidak ada belain tangan ibu, tidak ada sandaran kepala yang bisa menenangkan dan tidak ada nasehat yang dulu sempat saya abaikan.
Dilanjutkan acara sungkeman. Aku tertunduk di hadapan kaki ayah dan dilanjutkan kaki ibu. Kulirik wajah ayah yang menitikkan air mata. Tak kuasa, tertetes air mataku. Dilanjutkan di hadapan ibu. Aku yang dibanjiri air mata tiba-tiba ada yang menyapunya.  Sebuah tisu membersihkan tetes air mata di wajahku. Ternyata tangan ibu. Aku semakin tidah kuat dibuatnya. Tetesan air mata malah makin terkucur.
Sekarang gerbang kehidupan baru telah menyambut di depan mata. Kehidupan baru yang penuh akan tanda tanya. Baik atau buruk aku juga tidak tau.
   Tibalah acara potong kue. Kupotong kue dan langsung kuberikan ayah dan ibu. Aku tahu ini tak ada di daftar acara. Seharusnya kami makan berdua dengan Henriyano. Dan Hendriyao pun juga mempersilahkanya.
   Setelah acara selesai poto-poto dilanjutkan lagi. Banyak orang yang ingin berpoto bersama kami. Termasuk teman-teman kerjaku. Malah teman yang dulu akrab denganku sekarang tidak ada. Mungkin di bersenang-senang di atas penderitaanku.
   Malam petama. Aku duduk di depan meja rias yang berkaca. Di dalam kamar, hatiku brcampur rasa ketakutan. Baru pertama kali ini aku akan bersama laki-laki di dalam kamar. Berdua dengan orang yang tidak saya cintai.
   Kulihat dia semakin mendekatiku. Mendaratlah pelukan dari belakan tubuhku. Aku sempat terkaget dan merasa takut. Terbisik suara di telingaku.
   “Sayang, kamu gak kenapa-napa kan? Dri tadi diam aja.”
   Dengan gelengan kepala aku menjawabnya. Diciumlah pipi kiriku. Hatiku makin terpacu getaranya. Aku lemasa dibuatnya.
   “Sayang kamu, capek?”
   Aku diam saja dengan pelukanya.
   Baru kali ini aku dipanggil sayang. Aku sempat merasakan perhatian. Perhatian dari orang yang baru hadir dalam hidupku. Semoga ini menjadi benih cinta dalam hatiku.
   “Ya, sudah tidur saja dulu. Keliatanya kamu sangat capek setelah acara tadi”
   Di tuntunlah aku ketempat pembaringan. Sebelum aku tidur selimut di tutupka padaku. Di tambah kecupan kening dan ucapa selamat tidur.
“Met, tidur sayang.”
Sebenarya aku tidak terlalu capek. Kalaupun aku harus menunaikan kewajiban seorang istri atas suami aku mampu malam ini. Tapi dia tidak memintanya. Jujur sebenarnya aku belum siap. Hatiku masih tersirat rasa takut denganya. Dari perhatianya, sifat perhatian padaku aku menjadi sedikit berkurang.
Sebelum aku tidur aku melihat majahnya. Wajah yang berada di sampingku lumayan ganteng. Mau kucoba untuk mencium pipinya,  tapi aku urungkan niatku.
   Pagi ini pagi yang tidak seperti biasanya. Biasanya aku beragkat ke kantor. Tapi kali ini aku telah diberi izin untuk libur selama empat hari. Katanya sih untuk bula madu.
Aku kelilingi rumah baru ini. Rumah ini merupakan rumah hadiah dari ayah Hendriyano. Ini adalah bukti betapa senangnya orang tua Hendriyano. Senang bila anaknya nikah denganku. Pekarangan depan lumayan lebar. Ada pekarangan belakang juga. Rumah ini lumayan mewah.
Kuliat ada dedauanan yang tercecer di halaman. Kucari sapu untuk membersihkanya.  Ketika aku sedang menyapu, terdegar suara dari belakangku.
“Bidadari jatuh di halaman rumah, Eh sedang bersih-bersih rupanya.”
“Apa sih mas,... bisa aja.”
“Udah nanti aja, masih pagi.... jalan-jalan yuk. Sekalian cari sarapa.”
“Ah, nanggung.... Tinggal sedikit lagi.”
“Yaudah, saya panasin mobil dulu.” Bergegas dia meiggalkanku.
Aku sapu hingga bersih. Kubawa sampah ke kotak sampah depan pagar.Aku lihat Henriyano yang sedang mengelus mobil birunya. “Ganteg juga ya ternyata. Makasih Ya Allah engkau memberikan suami yang ganteng. Dan mudah-mudahan dia baik juga.”
Terlempar senyuman darinya. Kubalas senyuman malu dariku.
“Ayo... udah siap Bidadari cantik”
Aku makin dibuatnya malu. “Apaan sih mas.... bisa aja.”
Setelah pintu rumah terkunci, kami naik mobil. Diperjalanan kami salig diam. Beberapa menit kemudian akirya omogan keluar dari mulut kami.
“Kataya jalan-jalan, Kok naik mobil.” Tanyaku iseng.
“O, iya...ya. Tapi kan mobilya jalan. Hehe” Jawawnya degan senyuman.
“Heee, gitu ya....Hehehe” Aku pun juga ikut tersenyum.
“Eh, kamu suka makanan apa?”
“Apa ya...? Kasih tau gak ya?”
“Kasih tau donk......”
“Makanan yang enak. Yang enak di mulut....”
“Yang paling enak....maksudnya.”
“Aku suka maka sate. Hehehe”
“O,... Sate. Ternyata jauh-jauh dari Prancis sukanya masih sate....Hehe.”
Di dekat alun-alu mobil dihentikan. Alun-alun tidak terlalu ramai. Haya orang-orang tua dan beberapa anak yang berlarian. Aku hanya berjalan mengelilingi lapangan sambil bercanda. Diajaklah aku ke sebuah warung makan terbuka dekat alun-alun. Menu pagi ini cuma ada nasi uduk. Tidak ada yang lain. Kami pun akirnya memesan dua porsi dan dua gelas teh manis hangat.
Kami duduk di kursi bawah pohon yang besar. Nasi uduk yang biasa-biasa saja terasa nikmat degan rasa perhatian dia padaku. Aku malu dilihat orang ketika mau disuapin. Sehigga kugeleng-gelengkan kepalaku dan kubilang. “Ada orang, malu”
Setelah selesai akirnya kami pulang.
Aku malu sebagai wanita yang tak bisa memasak. Aku sungguh menyesal. Aku yang sejak dulu hanya makan dari masakan ibu atau membeli bila sedang ada di kantor. Begitu juga pada saat aku belajar di Prancis. Hanya beli dan beli. Merasakan apakah mkanan kurang eanak atau sudah enak. Itu yang bisa kulakukan. Diam-diam aku ke dapur untuk mencoba memasak. Kuingat-ingat bumbu ketika aku memasak di rumah nenek.Aku coba. Aku berharap masakan ini enak. “Eh... . Apa aku telephon nenek saja ya? Nenekkan ahli masak-memasak” Bisiku dalam hati.
Kuambil HP. Tersambunglah ke nomor telepon rumah nenek.
“Assalamualaikum,... Nek?”
“Waalaikum salam,...”
“Ini Syafira nek”
“Syafira, Eh... Pengantin baru. Gimana ni ayo?”
“Apa sih nek? Nenek Syafira mau tanya resep-resep.”
“Resep-resep? Resep malam pertama ya?”
“Iiiiih nenek. Resep-resep makanan lah.”
“Oooo, kirain. Yah tenang aja. Emang kamu buat apa?”
“Apa ya....? Kalau siang enaknya apa ya nek? Apa kayak kemarin yang di masak pas kerumah nenek?”
“Yah gak papa”
“Tapi fira belum bersihin sayuranya. Yah nanti saya hubungi lagi ya nek.”
“Iya deh. Pokoknya kamu harus bisa masak. Malu dong masak cucuc nenek gak bisa masak.
“Iya...iya nek.... Makasih ya”
Segera kubersihkan sayur-sayuran yang akan dimasak. Dilanjutkan tanya kenenek apa langkah selanjutnya. Aku memasak sambil teleponan sama nenek. Hingga akirnya selesai juga masakan pertamaku. O, iya. Bagaimana kalau goreng telur. Kalau cuma goreng telur pasti bisalah. “Kecil lah...,” kataku pelan.
   Ku pecah telur di atas penggorenan. Aku takut hasilnya gosong. Langsung kubolak-balik telur. Eh apa hasilnya hancur telurnya. Tak bisa seperti ketika beli di warung. Aduh...! aku lupa belum dikasih garam. Langsung ku campur garam tadi bersama telur yang hancu. Setelah cukup matang ku angkat telur itu. “Waduh...” Telur yang tadi kumasak jatuh berceceran di atas lantai. Aku memang belum mahir menggunakan alat penggorengan.Terpaksa. Kubuang telur tadi. Ah ku coba lagi saja.
Percobaan kedua pasti berhasil. Kali ini bukan telur ceplok. Tapi telur dadar setahuku. Kutambah minyak goreng lagi. Kucampur telur, garam dan irisan bawang merah. Aku yakin ini pasti berhasil. “Aku,...” Ucapku dengan penuh keyakinan.
Akrinya jadi juga telur goreng buatanku. Segera kubawa masakan semua ke meja makan.
Suami baru yang sedang dihadapan laptop kupanggil. Untuk kuajak makan bareng.
“Mas, makan dulu yok...?” Sapaku dari belakang kursi duduknya. Tertoleh wajah Henriyano dan berkata.
“Wah..., masak tadi.”
“Ayo....” Ajakku.
Diatas meja makan kami makan bersama. Walaupun hanya sederhana, kuliat dia dengan lahap makan masakanku. Sampai dia nambah lagi. Entah, apakah ini hanya pujian dalam bentuk tindakan. Dia mungkin  ingin menyenangkan hatiku atau memang enak masakanya. Perasaan biasa saja.
“Wah, masakanya enak...”
“Biasa aja, kali mas....”
“Suer deh, enak. Aku belum pernah makan sayur bayam seenak ini. Cocok dilidahku. Ap lagi di temani bidadari di hadapanku”
“Mulai lagi dah, gombalnya. La bisa masak aja baru kok.”
“Pokoknya, mantap...Hehe.
Aku hanya bisa tersenyum. Wanita mana yang tidak terbuai dengan kata-kata pujian. Walaupun aku tak tau apakah itu benar enak masakanku tapi hatiku cukup terhibu. Aku merasa sangat dihargai atas kerja kerasku.
Hari demi hari kami lalu bersama. Kurasakan perhatianya yang menebarkan benih cinta kini kian subur. Apakah aku sudah mulai jatuh cinta. Tapikan baru beberapa hari aku bersamanya. Perasaan tidak menyesal karea aku dimilikinya. Yang tadinya aku dipenui rasa takut sekarang aku merasa bahagia. Dulu kata orang Hendriyano orang tidak baik. Tapi enggak juga. Apa karena kebaikanya saja yang baru kutahu? Sedangkan keburukanya belum ketahuan. Tapi biarkan dulu lah. Biarkan aku jatuh cinta. Biar aku lupa sakit hatiku pada Keyla dan Suaminya.
Sekarang kurasakan kedamain hati yang mulai penuh cinta. Kenapa aku dulu harus memperjuangkan cinta yang tak jelas akirya? Bodohnya aku yang harus mengulur waktu sembilan puluh sembilan. Jelas-jelas sudah ada malaikat cinta yang menungguku dengan penuh setia. Memang ayahku orang yang hebat. Tidak salah keputusanya. Makasih ayah.
Malam-malampun kami lalaui berdua. Aku yang sudah jadi miliknya semakin nyaman tidur bersamanya. Kurasakan belaian-belaian lembut yang membankitkan rasa cinta.
“Sayang kamu begitu cantik” Bisikan lembut bersama pelukan penuh cinta.
Hanya seyuma manis manja yang bisa kuperbuat. Dibelailah pipiku. Aku semkin terlena olehnya.
“Sayang aku sangat mencintaimu, sangat mencintaimu” Ucapnya dengan pelukan yang semakin membuat aku tak berdaya.
Malam ini terasa milik kami berdua. Tak lupa, ribuan doa telah mengawalinya. Hingga akirnya kami terlelap dengan pelukan cinta.

No comments:

Post a Comment